Kamis, 22 Mei 2008

Mengapa Allah Mengijinkan Bangsa Israel Untuk Membunuh Bangsa Asing?

Pendahuluan

Allah pada dasarnya adalah kasih. Namun jika Allah adalah kasih, mengapa Allah memberi instruksi agar melakukan pembunuhan massal terhadap bangsa-bangsa penduduk asli Kanaan? Bukankan sebaliknya ini sangat kontradiktif dengan sifat Allah? Para pembaca modern ketika melihat teks-teks Pl sering menanyakan diri, apakah segi tradisi PL ini tidak terlampau kejam, malah bertentangan dengan peri kemanusiaan yang konon diajarkan oleh PL sendiri. Untuk itu upaya penulis adalah memberi jawab terhadap persoalan ini. Namun dalam upaya tersebut harus memperhatikan konteks historis dari problem yang dihadapi.

Isi

Alkitab memberi penilaian yang sangat negatif terhadap bangsa-bangsa penduduk asli Kanaan. Semuanyalah penyembah berhala yang tegar, berakhlak buruk, malah cabul, pembuat dosa-dosa yang paling keji. Sampai sekarang orang-orang Kanaan dikatakan “menajiskan” tanahnya dengan dengan pelbagai kejahatan, sehingga akhirnya tanah itu sendiri “memuntahkan mereka (Im 18,27-28), atau Tuhan “mengusir dan menghalau” mereka (Yos 23, 5; 1 Raj 14,24) karena hutang dosanya yang terlalu berat (kej 15,6).

Bagaimana timbulnya anggapan hina itu? Kunci pengertian terletak di dalam kenyataan bahwa pada zaman raja-raja umat Israel pernah mengalami suatu Krisis yang hebat, dimana identitasnya semakin kabur dan terancam oleh pengaruh dunia orang Kanaan di kalangannya sendiri. Hal yang mencemaskan dari orang-orang Kanaan bukan hanya penyembahan berhala tetapi aliran sinkretisme yang mencampur-aduk Tuhan dengan Baal, hingga kesadaran diri dan tugas panggilan umat Israel semakin menjadi tawar jadinya. Suatu gerakan yang pembaruan, seperti yang dipimpin Elia dan para jurubicaranya tak henti-hentinya menegor umat itu supaya sadar kembali, jangan sampai kena “jerat orang Kanaan” (Kel 23,32-33; Ul 7, 16; Yos 23, 13) lalu binasa oleh murka Tuhan. Peringatan dan penolakan sifat orang Kanaan secara radikal ini semata-mata menjiwai Kitab Ulangan dan Yosua. Polemik ini sebenarnya bertujuan anti pembaruan, anti perjanjian dengan dunia orang Kanaan, namun sekali-kali tidak ditujukan kepada orang-orang Kanaan itu sendiri.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan betapa berbahayanya “orang Kanaan” bagi bangsa Israel sehinga orang-orang Kanaan harus ditumpas. Hal diatas merupakan gambaran jika orang-orang Kanaan tidak ditumpaas maka hal diatas akan terjadi. Beberapa penjelasan mengenai latar belakang unsur penumpasan.

Pertama, para penyusun kitab-kitab Yosua dan Hakim-hakim melihat zaman pendudukan Kanaan sebagai masa darurat, dimana Israel terpaksa harus bertindak dengan memakai kekerasan. Raja-raja negeri itu telah berperang melawan Israel (Yos 10, 3-6; 11, 1-5), maka bagi umat itu tidak ada pilihan lain dari pada mengalah, sehingga punah, menjadi budak kembali, atau menerima tantangan itu, dengan membela diri sekuat tenaga. Israel sendiri lebih cenderung untuk menyerah, tetapi Tuhan menyuruh mereka bertempur. Mereka diperintahkan untuk merebut seluruh negeri itu dengan pedang (Bil 21,24 dan acap kali dalam Ulangan dan Yosua). Perang suci in bersifat unik, dan sekali, kali tidak dimaksudkan sebagai lembaga tetap. Hal membunuh manusia dalam pada ini tidak disamakan dengan pembunuhan sewenang-wenangnya, seperti yang dilarang undang-undang Allah.

Kedua, penyuruhan Tuhan untuk menumpas segenap bangsa-bangsa penduduk asli dapat dimengerti dengan lebih baik, apabila kita coba menyelami besarnya bahaya rohani yang pernah dihadapi Israel, ratusan tahun sesudah mereka memasuki negri itu. Hidup damai dengan dunia orang Kanaan, pernah berarti hidup damai dengan penyembahan berhala, turut mencampur-adukkan TUHAN dengan Baal (mis pada zaman raja Ahab dan nabi Elia). Dalam keadaan damai yang palsu ini, pastilah umat TUHAN harus kehilangan wujudnya, sehingga lenyap dalam waktu singkat. Makanya Tuhan menegor, menyuruh umatNya untuk mengambil sikap-sikap dan tindakan yang tegas. Semua mezbah berhala harus dirobohkan dan semua penyembah Baal itu supaya dimusnahkan. (Kel 23,20-33; 34,10-16; Bil 33,50-56; Ul 7,1-6; 12,3; Hak 2,2. bukannya penumpasan bangsa-bangsa penduduk asli sebagai akal untuk merebut negeri mereka, melainkan pembebasan umatNya dari bahaya Kanaanisasi dan Baalisasi itulah yang dituju perintah Tuhan.

Ketiga, penumpasan orang-orang Kanan harus selengkapnya, supaya sumber penggodaan itu disingkirkan seluruhnya, “sampai pada penghabisan” (Yos 8, 24; 10,30). Para penyusun kitab-kitab Yosua dan Hakim-hakim mengetahui, bahwa perintah ini tidak pernah dapat dilaksanakan sesungguhnya. Ada kalanya Israel berhasil mengalahkan raja-raja Kanaan dengan tentara-tentaranya, dan merebut kota-kota mereka dengan menumpas semua penduduknya. Namun sebagian besar dari dunia Kanaan itu tinggal utuh, bnd daftar-daftar daerah yang tidak direbut, di dalam Yos 13-17 dan Hak 1. Dengan perintah Tuhan tidak ditaati, dan kesempatan penumpasan yang tak terulang itu dilepaskan, Israel harus menghadapi tantangan berat pada masa-masa yang akan datang.

Penutup

Setelah melihat latar belakang, bahwa pada dasarnya perintah Allah untuk menumpas habis orang-orang Kanaan adalah supaya bangsa Israel tidak terjerat kedalam bahaya rohani bangsa Kanaan yang menyembah berhala. Sehingga terjadi aliran sinkretisme dalam bangsa Israel yang dapat mengakibatkan hilangnya jati diri bangsa Israel sebagai bangsa yang kudus, umat pilihan Allah. Mereka harus ditumpas dengan alasan supaya praktik-praktik agama mereka tidak mempengaruhi Israel.

Muncul persoalan bolehkah demi menjaga kemurnian iman, anak-anak dan wanita yang tidak ikut berperang juga dibunuh? Karena itu ada cara tafsir serius yang mengakui realitas rendahnya moralitas perang dalam PL. Konsep Tuhan sebagai pahlawan perang adalah cara orang Israel kuno mengidentifikasi Allah sama seperti bangsa-bangsa lain pada waktu itu memiliki dewa perang masing-masing. Jadi nurani umat Kristen tidak perlu merasa terganggu dengan konsep yang lebih maju, yang lebih mulia, yang Kriten, yakni Allah kasih.

Jumat, 09 Mei 2008

Bagaimana mungkin?

Kehidupan Salomo sangat menakjubkan bagi saya. salomo memiliki hikmat yang membuat banyak orang pada zamannya tercengang. Bahkan pada masa sekarang hikmat Salomo masih relevan. Tapi ketika saya mencoba merenungkan kehidupan Salomo ada keganjilan yang saya rasakan. Salomo memiliki hikmat yang begitu luar biasa namun bagaimana mungkin dalam akhir kehidupannya kata-kata hikmat nya boleh dikatakan gagal diterapkan dalam kehidupannya?
Salomo yang memiliki hikmat lebih dari siapa pun pada jamanya tapi hingga akhir hidupnya tidak menjadi seperti yang di ungkapkan hikmatnya. Salah satunya menjadi seorang Penyembah berhala. Dari hal ini saya belajar bahwa sebanyak apa pun hikmat yang kita miliki, tak akan berarti tanpa hidup yang benar-benar berserah pada Tuhan.

Jumat, 25 April 2008

Tetap bertahan


Yusuf merupakan seorang tokoh dari sekian banyak tokoh dalam Alkitab yang kehidupannya menarik untuk di jadikan refleksi. Jika diumpamakan dengan grafik, kehidupan Yusuf dilukiskan dengan grafik yang naik dan terkadang turun. Dimulai dengan hidup sebagai seorang yang paling disayang oleh bapaknya Yusuf dibenci oleh saudara-saudaranya, sehingga saudara-saudaranya menjualnya sebagai budak. Yusuf kemudian dibawa ke Mesir dan bekerja kepada Potifar. Namun karena dia tidak mau bersetubuh dengan istri Potifar, ia dilaporkan oleh istri Potifar dengan tuduhan hendak memperkosanya. Yusuf dijebloskan kedalam penjara, hingga kemudian berkat kemampuannya menafsirkan mimpi Firaun dia diangkat menjadi wali Firaun.

Impilkasi dari kehidupan Yusuf bagi kehidupan kita adalah setiap kita memiliki grafik kehidupan yang turun dan naik tetapi, dapatkah kita bertahan dengan kehidupan yang kita jalani?. Seperti Yusuf yang tetap bertahan melalui setiap grafik kehidupannya.

Kamis, 10 April 2008

Tetap Berdoa

Sabtu pagi saya ikut doa pagi di GKPB Bandung. Pada waktu itu pembicaranya adalah pak Nimrod. Beliau berbicara tentang kesetiaan Daniel kepada Tuhan. Dimulai dengan tidak menajiskan diri dengan makanan raja, dan tetap setia berdoa kepada Tuhan, meski ada larangan. Hal yang menarik bagi saya adalah kesetiaan Daniel. Dalam dirinya tidak di dapati satu kesalahan apapun kecuali berdoa kepada Allah-Nya. Dan ketika muncul peraturan bahwa tidak diperbolehkan berdoa kepada Allah, kesetiaan Daniel kepada Allah tidak berubah. Bahkan dia tidak merubah tata cara doanya kepada Allah. Ia tetap berdoa kepada Allah seperti yang biasa ia lakukan.

Jika coba saya hubungkan dengan sekarang, bukankah terkadang doa kita adalah doa dadakan? Kita tidak berdoa seperti cara kita berdoa kepada Allah, namun hanya berdoa ketika muncul suatu problem. Kita tidak setia dalam kehidupan doa kita kepada Allah. Mari kita coba untuk seperti Daniel yang tetap setia berdoa kepada Allah dalam keadaan apapun tanpa memandang situasi apapun.

Kamis, 27 Maret 2008

Kasih setia Tuhan

Rat 3:22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! Tulisan ini terpampang di sebuah rumah sakit di kota Bandung. Ayat ini saya lihat ketika, menjaga seorang dosen saya yang sakit. Menjadi suatu kekuatan buat saya bahwa tak berkesudahan kasih setia Tuhan dalam hidup saya. selama beberapa hari menjaga dosen saya yang sakit, Tuhan selalu memberikan saya sebuah hidup yang berharga, ketika bangun pagi kurasakan sejuknya hawa dingin di pagi hari, tak lama berselang kurasakan hangatnya sinar mentari di pagi hari. Andaikan Tuhan tidak setia dalam hal ini, mungkin esok hari tidak dapat kurasakan seperti hal-hal yang telah kulalui.

Terima kasih Tuhan Engkau sangat setia dalam segala hal kepadaku. Ajar aku Tuhan untuk tetap setia kepada-Mu juga. Walau terasa sulit aku percaya Engkau selalu menyertaiku sehingga aku mampu untuk hidup setia kepadamu.

Kamis, 13 Maret 2008

Perselisihan

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lain dalam hidupnya, sehingga manusia memiliki tendency untuk hidup dalam komunitas. Dalam komunitas setiap manusia memiliki batasan-batasan yang harus dijaga agar manusia tersebut hidup dengan nyaman. Namun bukan berarti batasan-batasan tersebut sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan harus direpresi sekecil mungkin, agar dapat menghindari perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam suatu komunitas. Tetapi praxisnya, dalam suatu komunitas sering dilupakan adanya batasan-batasan. Terkadang batasan-batasan yang sering dilupakan ini mempertajam perselisihan diantara komunitas tersebut.

Beberapa hari ini saya mengamati semakin tajamnya perselisihan di dalam komunitas INTI, dimana dari hubungan yang semula baik semakin buruk karena tidak menjaga batasan-batasan. Ketika saya coba merenungkan hal ini mengingatkan saya kepada Amsal 27:17 yang berbunyi ” Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya”. Dapat disadari dalam komunitas tidak dapat dihindari adanya perselisihan, namun ada yang perlu kita perhatikan, yaitu bagaimana cara kita untuk tidak mempertajam perselisihan?. Sebagai manusia yang memiliki hati dan perasaan, mari kita menimbang terlebih dahulu apakah perbuatan kita telah melewati batasan-batasan seseorang. Dengan demikian, kita berusaha untuk merepresi sekecil mungkin perselisihan yang terjadi dalam komunitas.

Kamis, 28 Februari 2008

Apa Yang Baik Bagi Allah Belum Tentu Baik Bagi Manusia

Dalam dunia apa yang bersifat menyenangkan itu identik dengan kebaikan. Dan apa yang bersifat penderitaan itu pasti buruk. Sehingga orang sering memakai pemahaman ini dalam kehidupan Kristen. Orang Kristen menilai bahwa yang dari Allah pasti baik dan “ jarang ada yang buruk”. Judul diatas saya dengar ketika saya sedang dalam kuliah teologi PL. Saya mencoba merenungkan apa maksud dari perkataan tersebut. Ketika merenung, saya teringat dengan kehidupan kecil saya. Kakek saya seorang Pendeta, ibu saya seorang pendoa, namun ayah adalah seorang pemabuk. Saya dari kecil sudah diajarkan untuk percaya kepada Allah, namun yang membuat saya bertanya “ mengapa Allah yang baik itu memberikan seorang ayah yang pemabuk, dimana pekerjaannya setiap hari hanya mabuk-mabukan, bukankah Allah sebaiknya memberikan suatu yang buruk ?”.

Untuk beberapa lama saya belum menemukan jawabannya. Namun, sekarang saya mengerti bahwa sewaktu saya kecil, saya memakai ukuran saya untuk mengukur kebaikan Allah. Tidak ada perbuatan Allah yang tidak baik. Semua yang dikerjakan Allah adalah baik, karena dia Allah yang baik, sekalipun dalam penilaian manusia tindakan, dan pekerjaan-Nya “buruk”. Sama seperti teman-teman Ayub yang mengatakan kepada Ayub bahwa tidak mungkin Allah memberikan penderitaan kepada Ayub. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ayub menderita. Namun mereka keliru, mereka menganggap bahwa Allah memberikan yang baik saja kepada orang yang benar. Ternyata berbalik, Allah memberikan yang buruk bagi Ayub.

Apapun yang terjadi dalam kehidupan kita semua yang dikerjakan Allah adalah baik. sekalipun dalam penilaian kita buruk. Tidak ada yang dapat kita lakukan selain mengucap syukur atas apapun yang terjadi dalam hidup kita, sekalipun yang buruk terjadi dalam kehidupan kita.